This is How I Met Akademi Berbagi

Jam dinding kamar kos sudah menunjukkan pukul setengah tujuh sore. Sedikit terperanjat, saya bergegas untuk sembahyang dan bersiap mandi. Malam itu malam yang biasa-biasa saja, cerah, tidak mendung, tidak dingin, tidak pula panashanya saya teringat telah membuat janji bertemu dengan orang yang saya sapa di media sosial beberapa hari yang lalu, namanya Rafly.

Lepas bersiap-siap, saya segera menggenjot tuas motor vespa butut yang saya taruh di parkiran kos. Kalau tidak salah, saat itu bulan April tahun 2012, di tengah masa ketika kegiatan akademik semester tersebut sudah terselesaikan. Dengan mengendarai vespa, saya menuju ke sebuah kedai kopi di bilangan Kentungan untuk menunaikan janji saya. Sesampai di lokasi, kedai tersebut tengah sepi, saya menunggu selama lima menit di luar kedai hingga orang yang tengah saya tunggu datang mengendarai motor Honda-nya. Tinggi dan kurus, dengan gaya bicara yang cukup aneh buat saya, ia memperkenalkan dirinya “Halo, aku Rafly. Setyo ya?”.

Obrolan kami lanjutkan di lantai atas sembari memesan kopi dan kudapan. Sembari berbasa-basi, ia bercerita dan memperkenalkan tentang apa itu Akademi Berbagi, dan apa saja suka-dukanya selama bergabung di dalamnya. Sebagai orang yang baru tinggal di Jogja selama setahun dan belum begitu mengenal kota tersebut luar-dalam, saya tetap terpaku pada tujuan utama saya bertemu dengan Rafly hari itu, saya ingin tahu sedikit lebih dalam tentang Akademi Berbagi, seperti apa bentuk kepengurusannya, dan syarat apa yang harus saya penuhi bila saya ingin mengikuti acara-acaranya.

Saya sendiri sudah cukup lama, sekitar setengah tahun, mengetahui tentang keberadaan sebuah komunitas (yang saat itu saya pikir adalah sebuah organisasi) bernama Akademi Berbagi. Meskipun belum pernah mengikuti acaranya sama sekali, tapi saya mengenalnya sebagai sebuah “organisasi” yang sering mengadakan event semacam seminar secara gratis. Geliat “organisasi” ini pun tidak pertama kali saya ketahui dari Jogja, namun dari kota asal saya, Solo, yang saat itu memang bisa dibilang dunia komunitasnya tengah berlari kencang dengan Akademi Berbagi Solo menjadi salah satu organ pentingnya. Justru di Jogja, kota yang terkenal dengan gemerlap jutaan mahasiswanya ini, saya sudah beberapa bulan tidak pernah mendengar kabar apapun dari akun twitter milik @akberjogja. Dan justru di momen ketika saya mendengar lagi kabar mengenai Akademi Berbagi Yogyakarta (Akberjogja), itu adalah cerita tentang vakumnya Akberjogja yang diceriterakan oleh orang yang belakangan saya ketahui sebagai kepala sekolahnya sendiri.

Begitu selesai Rafly menceritakan tentang segala yang ia ketahui mengenai Akademi Berbagi dan Akberjogja, ia pun menawari saya untuk menjadi volunteer bagi Akberjogja. Gayung yang bersambut, entah memang Tuhan yang berkehendak, atau saya saja yang terlalu bodoh untuk menolak, saya pun menyanggupinya tanpa rasa ragu. Dan hingga detik ini saya masih sedikit merasa bahwa saat itu saya sangat bodoh, saya merasa kebodohan saya lah yang lebih berkontribusi dalam situasi tersebut. Kenapa saya bilang begitu? Lah, orang pinter mana sih yang mau nyari pengalaman dengan cara ikutan sebuah komunitas yang anggota aktifnya saat itu cuman satu orang yang dia nggak kenal sama sekali?

Sejurus kemudian, akal sehat pun kembali dapat menguasai diri saya. Langsung saja saya bertanya kepadanya “Syarat e opo e Mas?” (Syaratnya apa nih Mas?). Jawaban dia pun sederhana, jawaban yang hingga kini harus saya akui sebagai sebuah kunci yang selalu saya pegang: “Alah wis gak usah nanggo syarat-syaratan, syarat e muk satu, konsisten. Itu aja” (Udah nggak perlu pakai syarat-syarat, syaratnya cuma satu, konsisten. Itu saja). Sederhana bukan?

And yes, this is how i met Akademi Berbagi..

Makan bersama di Pak Beni selalu jadi andalan Akberjogja

Makan bersama di Pak Beni selalu jadi andalan Akberjogja

Orang kedua yang saya kenal setelah bergabung di Akberjogja adalah seorang blogger bernama Anto alias Antobilang (ada yang tahu di mana Mas Anto sekarang? Saya sendiri sudah cukup lama lost contact dengan Beliau). Mas Anto ini saat itu adalah seorang pengurus di sebuah lembaga enterpreneurship milik UGM yang bernama CED UGM. Di kantornya, mereka memiliki sebuah cafe yang boleh jadi dibangun hanya untuk sekedar meramaikan suasana saja.  Dan di lokasi inilah saya membuat debut saya sebagai volunteer Akberjogja, sekaligus untuk pertama kalinya mengikuti konsep unik yang disediakan oleh Akademi Berbagi dalam berbagi ilmu. Di lokasi ini pula Rafly dan saya banyak dibantu oleh Mas Anto dalam usaha membangun ulang Akberjogja. *sungkem virtual sama Mas Anto*

Kelas pertama tersebut digelar sekitar seminggu setelah pertemuan pertama saya dengan Rafly. Lewat bantuan Mas Anto, saya ditugaskan oleh Rafly untuk meminjam lokasi Cafe CED untuk mengadakan event yang saya benar-benar masih buta dengan konsepnya. Hasilnya pun.. Pahit-manis. Pahit karena saya masih selalu ingat jumlah orang yang hadir di kelas “Music Director” saat itu, di luar saya, Rafly, dan teman-teman kosnya, hanyalah tiga orang, hanya tiga orang! Hanya dua hal manis yang saya tangkap saat itu: 1) guru kelasnya (Mbak Bulan Annisa) 2) sebuah compliment teman saya yang saya ajak ke kelas hari itu yang mengatakan “Oh, baru tahu seperti ini toh kerjaannya Music Director itu”.

Situasinya tidak serta-merta berubah, Rafly dan saya ‘merangkak’ pelan-pelan selama tidak kurang dari dua bulan lamanya. Mengadakan kelas dengan jumlah peserta seadanya, tidak hanya satu atau dua kali, padahal konten dari kelas-kelas tersebut sangat bagus. Rasanya seperti terbuang percuma. Angin segar pun bersambut di bulan puasa, mungkin ini sebuah berkah dari Tuhan. Saat itu ada sebuah kelas yang akan kami berdua selenggarakan, kelas mengenai Event Organizer yang rencananya diampu oleh Mas Donny, saya mulai berani iseng mencoba untuk mem-publish informasi kelas kami melalui portal-portal informasi kota Jogja maupun grup-grup Facebook. Informasi yang saya sebarkan di Facebook rasanya tidak sia-sia, info tersebut mendapat tanggapan dari.. satu orang saja.

Namanya Muhammad Wahdan, alias Dadan, ia saya kenal sebagai seorang pedagang kaus di sebuah forum dunia maya yang kebetulan dipertautkan oleh takdir untuk bertemu dengan saya. Mohon maaf, masalah pertautan takdir tersebut agak sukar untuk dijelaskan di sini. Alkisah, orang ini adalah sosok yang masuk dalam kriteria yang kami berdua cari-cari. Bukan maksud saya untuk membuatnya besar kepala, namun memang begitu adanya, Dadan ini adalah orang asli Jogja yang cukup paham mengenai seluk-beluk komunitas di Jogja.

Gayung pun bersambut, mungkin dia memang sama bodohnya dengan saya, selepas kelas Event Organizer yang dihadiri 20-an orang (sangat ramai untuk kondisi Akberjogja kala itu), Dadan pun memutuskan untuk bergabung bersama kami berdua dengan membawa serta seorang teman di kelas berikutnya. “Anak baru” ini sosok dengan kriteria yang tidak jauh beda dengan Dadan, orang yang mungkin diciptakan Tuhan untuk diletakkan di dalam satu lobus otak bersama Dadan, namanya Adon.

Dengan pondasi yang sudah terbangun cukup rapi, kami pun mulai bisa sedikit berlari. Dari kelas ke kelas lainnya, dari guru ke guru lainnya, dari undangan acara ke undangan acara lainnya. Rata-rata jumlah peserta pun meningkat drastis, dari yang tadinya dihadiri 10 orang pun syukur alhamdulillah menjadi sebuah event cukup prestisius yang dihadiri 20-30 orang per kelasnya.

Volunteer baru pun bergabung satu demi satu, dari dua sejoli bernama Galang dan Nini, seorang gadis oriental cerewet bernama Nitha, seorang gadis berstrata tiga dalam hal gosip bernama Annisa, seorang gadis keriting puitis bernama Dhani, hingga seorang gadis tinggi pemalu bernama Devi. Komposisi inilah yang kemudian menemani perjalanan bangkit kembalinya Akberjogja hingga menembus usia dua tahun di tanggal 14 Februari 2013.

Volunteers Akberjogja di Desa Tembi

Volunteers Akberjogja di Desa Tembi

Akberjogja bersama Mas Roni Azhar di LLD II

Akberjogja bersama Mas Roni Azhar di LLD II

Kini, Akberjogja sudah berdiri lebih tegap, lebih gagah. Jumlah kami yang bergabung di sini sebagai volunteer pengurus semakin banyak, mencapai lebih dari 20 orang, bahkan di acara Local Leader’s Day II, bertemunya para relawan Akademi Berbagi di seluruh Indonesia, Akberjogja menjadi kota yang mengirimkan relawan dengan jumlah terbanyak. Suksesi kepemimpinan pun sudah dilakukan dari Rafly ke Dadan. Regenerasi volunteer terus berjalan. Kelas pun rutin diselenggarakan, tak kurang dari 48 kelas berhasil kami jalankan sepanjang tahun 2013 kemarin. Sebuah kondisi yang jelas tak pernah saya bayangkan sedetik pun dua setengah tahun yang lalu, pada titik di mana saya menerima tawaran Rafly di lantai dua sebuah kedai kopi.

Di atas itu semua, saya menyadari, ada sebuah platform yang menyatukan kami semua, yang berhasil membuat kami tergerak untuk membagikan sedikit yang kami punya, baik tenaga, waktu, pikiran, tempat, ataupun ilmu, kepada orang-orang asing yang tadinya sama sekali tidak kami kenal. Sebuah platform unik, yang sedikit banyak mengubah hidup dan cara berpikir saya pribadi, dan saya yakini mengubah pula hidup banyak teman-teman lainnya di seluruh penjuru Indonesia. Sebuah platform yang kini akan memasuki usianya yang keempat, memasuki kondisi di mana namanya sudah semakin akrab di telinga masyarakat luas. Sebuah platform yang dengan berani memberikan alternatif bagi masyarakat dalam mengakses pendidikan secara menyenangkan. Platform tersebut, bernama Akademi Berbagi.

Dan dengan ini saya menyatakan, selamat ulang tahun yang keempat, Akademi Berbagi. Dirgahayu! #4Akber

#4akber