One Day Trip: Piknik ke Semarang Atas

A: “Eh, main dong ke Semarang.”
B: “Walah, ngopo o ning Semarang, jon? Rak ono opo-opo nang kene.” (Walah, ngapain ke Semarang, bro? Nggak ada apa-apa di sini.)

Sering mendapat jawaban seperti itu bila bertanya mengenai apa saja obyek tamasya yang ada di seputar Ibukota Jawa Tengah? Saya sering, bisa dibilang sangat sering bahkan. Kebetulan, saya punya beberapa teman asli Semarang (atau Ungaran, daerah ‘satelit’ dari Kota Semarang), dan.. i don’t know why, it seems that they have no idea, no choice, about where they should take their friend if they come to the Central Java’s capital.

Lucunya, justru keunikan mental mereka itulah yang terus membuat saya penasaran ingin mengetahui sebenarnya apa saja sih yang ada di Semarang, apa saja sih yang dimiliki kota ini hingga anak-anak mudanya tidak merasa pede untuk mempromosikan kotanya sendiri. Sekedar benchmarking ringan, coba saja tanya kepada anak-anak muda di kota Solo atau Yogyakarta tentang apa saja hal menarik yang ada di kota mereka, dan saya jamin Anda akan mendapatkan setumpuk jawaban yang variatif dan merangsang.

And that was why this trip had to begin.

—–

Mumpung liburan, tanggal 27 Januari kemarin, setelah bertanya berbelit-belit ke beberapa teman yang tinggal di Semarang tentang lokasi-lokasi mana saja yang layak untuk dikunjungi, akhirnya saya memutuskan untuk mengunjungi daerah Semarang atas terlebih dulu, selain karena daerah Semarang bawah masih tergenang banjir saat itu, kalau di Semarang atas ada yang mau ditumpangin, hehehehe..

Fyi, secara geografis (gaul), Semarang dibagi menjadi dua yaitu Semarang atas dan Semarang bawah. Saya sendiri belum begitu paham batasannya, tapi gampangnya Semarang atas merupakan daerah bukit seperti Tembalang, Ungaran, dan daerah-daerah lain di selatan Kota. Sementara, yang disebut Semarang bawah merupakan daerah Kota, yang memang lokasinya ada di bawah bukit, dan maka dari itu rawan banjir.

Singkat cerita, langsung saya menuju ke Tembalang, lokasi kampus Universitas Diponegoro, dengan menggunakan bis Royal Safari, dari Solo biayanya cuma 20 ribu, tapi bila Anda berkantong tipis, hati-hati bila mendapatkan bis Safari dengan warna dasar hijau, ongkosnya kadang naik menjadi 25 ribu karena pada kertas tiketnya memang tidak mencantumkan harga laiknya Royal Safari.

Sesampai di sana, saya dijemput oleh ‘Pahlawan Dua Hari’ saya di Semarang, Rakai Panangkaran, seorang pejuang pantang menyerah yang pada saat postingan ini ditulis tengah berusaha menyelesaikan skripsinya. Terima kasih, Rakai..

Rakai si pejuang skripsi

Rakai si pejuang skripsi

—–

Siang hari, sesampai di Tembalang, kami memulai kunjungan saya dengan makanan yang ringan, bukan sesuatu yang khas, namun cukup untuk mengisi perut yang sudah mulai keroncongan karena belum makan, kami berdua menuju ke sebuah rumah makan langganan Rakai (saya lupa namanya, sial), di sana kami memesan Sushi dan Kentang Goreng saja..

Sushi dan Kentang

Sushi dan Kentang

Bo’ong sih, selain Sushi dan Kentang Goreng kami juga memesan Nasi dan Ayam Teriyaki, sehingga keluar dari rumah makan kami berdua pun kenyang dan mengantuk. Lalu, sesampai di kos Rakai, saya pun memutuskan untuk tidur beristirahat dulu karena obyek utama yang akan kami kunjungi baru buka nanti malam.

Malamnya, setelah mencari makan sejenak dengan teman-teman kos Rakai, yaitu Ican, Yogi, dan Doi, saya dan Rakai pun langsung meluncur ke Ungaran untuk menuju ke sebuah Kedai Kopi yang direkomendasikan oleh Rakai, awalnya kami berencana mencari Kopi Klothok dan Cokelat Leleh Ungaran, namun karena saat itu cuaca sedang tidak begitu bersahabat maka Rakai memberikan alternatif lain.

Dan ternyata, alternatif ini merupakan alternatif yang tidak akan saya sesali. Kedai Kopi yang kami kunjungi bernama Kedai Kopi Tarik Entresarea, silakan saja googling mengenai tempat ini, very recommended! Besok akan saya ceritakan lebih lanjut mengenai tempat ini di postingan selanjutnya. Yang jelas, ini Kedai adalah Kedai Kopi yang juara banget.

Kedai Kopi Entresarea

Kedai Kopi Entresarea

Di sini, Rakai langsung memesan Wedhang Secang, sebuah minuman khas daerah Jawa Tengah yang terkenal dengan warnanya yang kemerahan karena efek daun secang yang dicampurkan ke air panas. Soal rasa, Wedhang Secang ini agak mirip dengan Wedhang Uwuh khas Imogiri, yang memang salah satu paduan ‘uwuh‘-nya adalah daun secang.

Wedhang Secang

Wedhang Secang

Di lain pihak, saya memesan dua minuman, Kopi Tarik dan Teh Tarik, full susu dalam semalam. Kopi Tarik di Entresarea merupakan paduan dari Kopi Aceh panas yang dicampur dengan susu dengan teknik tertentu menggunakan dua baskom dan penyaring kopi, rasanya? Ciamik! Sementara, Teh Tarik merupakan paduan dari teh dengan susu, yang dicampur dengan cara ‘ditarik’ dari satu baskom ke baskom lainnya. Rasa Teh Tarik di Entresarea senada dengan beberapa Teh Tarik terbaik yang pernah saya rasakan, yaitu di Hik Gaul Pak Mul Karanganyar, Solo, dan Teh Tarik buatan saya sendiri. πŸ˜€

Kopi Tarik

Kopi Tarik

Teh Tarik

Teh Tarik

Kelar menghabiskan dua-tiga jam ditemani oleh sang penjual yang sangat ramah dan supel (alkisah, Beliau ini dulunya petinggi di salah satu televisi swasta terkenal di Indonesia), karena kami memang sengaja mengambil tempat duduk di depan pantry, kami pun akhirnya kembali ke kos dan pulang dalam keadaan basah kuyup karena hujan yang sangat deras.

—–

Keesokan hari, saya pun terbangun dalam keadaan kedinginan karena ternyata daerah Tembalang ini cukup dingin. Wajar saja, mengingat lokasinya memang berada di daerah perbukitan. Di tengah dingin yang menyentak akibat hujan yang masih terus turun itu, saya jadi berpikir apabila saya kuliah di UNDIP, di daerah Tembalang ini, entah berapa jumlah absen yang sudah saya kumpulkan karena tidak bisa bangun di pagi hari.. πŸ˜€

Saya pun memulai hari itu dengan membaca-baca buku milik Rakai, sembari berkemas-kemas untuk bersiap pulang ke Solo lagi. Dan untungnya, sekitar pukul 9 pagi, hujan pun mulai reda dan akhirnya saya memberanikan diri untuk mandi guna merasakan dinginnya air Tembalang yang digaung-gaungkan oleh Rakai melalui kalimat dahsyat: “Gue kuliah di sini itu paling seneng satu, mandi, soalnya air di sini enak”. Dan.. ternyata airnya memang terbilang segar, laiknya daerah perbukitan, jauh lah kalau dibandingkan air di daerah Bulaksumur di Jogja, hahahaha!

Lantas, untuk mengisi perut sebelum pulang, kami pun sarapan dengan sebuah menu khas Semarang, yaitu Tahu Campur, paduan tahu goreng, bakwan, kubis, dan sayuran yang dicampur dengan bumbu berkecap. Lezat bro!

Tahu Campur, porsi segini harganya cuma 5000 rupiah.

Tahu Campur, porsi segini harganya cuma 5000 rupiah.

—–

Dan akhirnya, sayang sekali waktu harus mengakhiri dulu kebersamaan saya dengan Kota Semarang (atas), sekitar pukul 11 siang saya pun pulang karena malamnya saya sudah akan berada di Jogja untuk acara yang lain lagi. Menumpang bis Safari, kali ini yang hijau dengan harga tiket yang entah mengapa naik menjadi 25 ribu, saya pun pulang dengan hati yang puas gembira.

Tekad saya, saya berencana untuk segera mengunjungi lagi Kota Semarang, namun di bagian bawah, di bagian kotanya. Sepertinya masih banyak yang bisa dijadikan kisah menarik di ibukota Jawa Tengah ini, dan saya sangat berharap teman-teman saya yang berasal dari Semarang tidak akan mengatakan “tidak ada apa-apa di Semarang” bila ditanya mengenai kota asalnya lagi. πŸ˜€

At last, terima kasih untuk teman saya Rakai Panangkaran yang sudah bersedia menampung saya, semoga Anda lekas meninggalkan Semarang dengan status Sarjana. Gracias!

4 thoughts on “One Day Trip: Piknik ke Semarang Atas

  1. Maaf, mau ralat sedikit. itu yang disebut “kopi tarik” di atas kurang lengkap karena itu ‘Kopi Tarik Susu’ kalau sekedar kopi tarik berarti tanpa susu dan namanya ‘Kopi Tarik Original’, hanya meluruskan.

Leave a reply to athiex82 Cancel reply